Tentang Merantau


suitcase-traveler

Dua minggu yang lalu salah satu adik kecil saya mengikuti jejak kakak-kakaknya (lagi) keluar dari rumah, merantau demi pendidikan.

Saya dan keluarga adalah keluarga yang mendadak harus pindah domisili karena kemerdekaan Timor-Timur yang tak banyak memberi pilihan selain berpindah paksa (karena masih ingin menjadi WNI) ketika semua titik stabilitas kehidupan mulai dicapai. Kembali ke Kampung Halaman tanpa cerita kesuksesan yang sebelumnya pernah terdengar diantara sanak keluarga di Lampung, sungguh bukan hal yang ringan. Singkat cerita, demi mencapai stabilitas sebelumnya, orangtua mau tidak mau harus meneruskan kembali karir yang sempat terhambat menuju pelosok Lampung. Pelosok yang saya maksud disini benar-benar pelosok, yang mau tidak mau harus ditempuh melalui berjam-jam transportasi jalur darat.

Timor-Timur, Dili lebih tepatnya, memang kota kecil yang mungkin terbilang ketinggalan soal perkembangan gadget terkini atau fashion modern. Ketertinggalannya diperparah karena pada zamannya (tahun 90an) internet belum tersedia secanggih hari ini yang sangat mungkin meminimalisir kesenjangan perkembangan dunia. Namun, bicara soal pendidikan, Timor-Timur tidak kalah bersaing. Saya dan teman-teman sebaya diajar oleh guru-guru professional yang mampu menjadikan kami cukup berkualitas hingga mampu dipersaingkan dengan siswa-siswi kota besar. Semangat berpendidikan yang baik ini terus tumbuh dan terbawa hingga disaat saya dan keluarga menetap menjadi warga salah satu pelosok Lampung.

Hingga pada saat saya harus meneruskan pendidikan yang sempat saya khawatirkan teramat sangat, sampailah saya pada keputusan memberanikan diri merantau di usia yang relative sangat muda. Didikan orang tua yang menanamkan nyali yang cukup besar menjadi modal untuk kami berani hidup sendiri dirantau pun untuk mereka (red-orang tua) berani meninggalkan anak-anaknya hidup sendiri dirantau. Sejak saya usia 11 tahun (SMP kelas 1) dan adik usia 9 tahun (SD kelas 4), kami telah hidup sendiri diluar sana demi menempuh pendidikan yang lebih baik. Sejak saat itu hingga kini, saya tidak pernah lagi menjadi penghuni rumah.

Ketika dua minggu lalu si adik kecil Tiara harus keluar rumah untuk alasan pendidikan, saya dan adik-adik yang lain serta orang tua sempat khawatir, mampukah si kecil Tiara bertahan sendiri disana? Kekhawatiran kami membawa kami larut pada cerita masa lalu, ternyata begini rasanya melepas si adik kecil, sedih dan khawatir. Padahal setelah ditelusuri kembali, umur kami dulu persis umur adik kecil kami saat ini. Ibu yang entah sudah kesekian kalinya membantu kami berbenah perkakas yang akan dibawa merantau pun tetap saja lagi-lagi pecah dalam tangis. Ibu bilang airmatanya bukan airmata kesedihan, ibu hanya terharu, satu lagi anak ibu akan tumbuh besar dan beranjak dari rumah. Ibu sangat sadar bahwa hari dimana kami keluar dari rumah adalah hari dimana anak-anaknya tidak akan pernah lagi kembali kerumah. Yang kami artikan sebagai kesuksesan dirantau. Ibu justru tidak menginginkan kami kembali jika itu artinya kami bermasalah diluar sana.

Ibu berkata “Dulu kakak dan adek (anak nomor 2) juga ibu lepas sekecil kakak Tiara saat ini, dan sampai detik ini kakak dan adek tidak pernah kembali kerumah bahkan sekarang sudah menjadi milik orang lain, sudah punya keluarganya sendiri.”. Kami ikut terharu. Percakapan semacam ini yang selalu menjadi motivasi untuk saya dan adik-adik tidak lupa bahwa keluarnya kami dari rumah dengan tujuan untuk tidak lain dari menambah kebanggaan orang tua. Semoga sejauh ini kami sudah berhasil menambah kebanggaan mereka dan mungkin juga dengan sedikit menaikkan derajat keluarga.

Saya jadi ingat, lebaran tahun ini adalah lebaran pertama kami tidak lengkap berkumpul dirumah. Saya dan dua adik perempuan saya telah menikah, dan kami untuk pertama kalinya merayakan lebaran dengan keluarga mertua. Biasanya, lebaran dan tahun baru jadi momen khusus buat kami yang telah dikoordinasikan dari jauh-jauh hari untuk berkumpul dan berdiskusi tentang kegiatan apa yang akan kami lakukan. Beberapa hari menjelang Lebaran kemarin, tercium sedikit aroma kesedihan ibu yang biasanya sedang sibuk-sibuknya menanti anaknya pulang satu persatu dari rantau.
Ah, begitulah hidup, ada saatnya bersama adakalanya juga berpisah. Hanya saja kita harus memastikan bahwa berpisah jaraknya kita untuk tujuan yang lebih baik. Kelak, ketika saya diamanahkan anak dan telah sampai pada umur yang cukup, saya pun tidak akan segan melepasnya kedunia luar untuk tujuan yang baik.

“Not all those who wander are lost.” – J. R. R. Tolkien
Jakarta, 200815

One thought on “Tentang Merantau

Leave a comment