Sore ini, saya plg dgn kereta yg biasa saya naiki dr st. Gondangdia. Kali ini naik seorang ibu muda sambil menggendong anak bayi usia kira2 4-6bln. Sekilas saya melihat sepertinya si bayi pny kondisi khusus yg membuat (maaf) matanya juling dengan mulut agak menganga. Saya sempat melihat sekilas, dan saya rasa penumpang disekitar tempat ibu duduk pun curi pandang sekilas kearah bayinya. Sedikit membuat ibu tsb kurang nyaman yg kemudian membalikkan badan anaknya menghadap jendela.
Saya berusaha mencari-cari kipas yg sayangnya tertinggal dirumah akibat sering berganti tas, pun tdk menemukan sekedar cemilan utk dipegang si bayi yg bs saya prediksi tdk akan lama lagi akan rewel akibat udara yg tdknlancar krn sesak oleh penumpang. Benar saja, baru berjalan satu stasiun, si bayi mulai menangis. Sepertinya kegerahan. Dan mgkn jg haus.
Pada awalnya penumpang disekitar hanya sebatas mengamati, tp berjalan 3-4 stasiun sepertinya tdk tega jg mereka mendengar si bayi terus menangis, sedang tujuan akhirnya adl St. Depok yg masih berjarak sekitar 12 stasiun lagi. Jendela mulai dibuka demi memperlancar sirkulasi udara, baju mulai dilonggarkan sembari ibu menepuk-nepuk punggung si bayi berharap perlahan-lahan akan nyaman. Sayangnya, tangisannya tak kunjung berhenti.
Saya sangat yakin, tak perlu ditanya, tentu ibunya yg paling ingin memberi kenyamanan pada bayi, namun kondisi memaksanya harus menaiki kereta di jam pulang kerja (rush hour) yg notabene punya tarif yg paling terjangkau utk menempuh jarak yg jauh. Entah krn perlu menghemat ongkos, atas sebatas ingin mencari pengalaman, tp pd akhirnya berkereta jd pilihan ibu dan bayinya ini. Andai bs memilih, tentu ibu tsb dgn senang hati memilih moda transportasi lainnya.
Singkat cerita, mulai muncul satu dua komentar dr penumpang, baik dr ibu-ibu pun bapak-bapak. “Buat pelajaran bu, naik kereta jgn di jam kerja.”, ditimpali lg komentar lainnya “besok-besok bawa minum bu.”, ada jg yg berkata “udah bu, kasih mimik saja, itu kasian anaknya haus.”. Dan saya benar-benar gemas dengan semua komentar tsb. Saya yakin ibu ini tau sekali bahwa bisa jd memberinya ASI akn menyamankan si bayi, namun ibu ini sepertinya tdk nyaman melakukannya di ruang publik (public breastfeeding) krn sempat diawal si ibu mencoba menerangkan bhw bayinya sdg berjamur lidahnya dll. Alih-alih membantu, komentar tsb malah menambah pikiran si ibu. Jd serba salah bersikap krn mulai di judge sana-sini. Kasian. Mana lagi di bbrp stasiun trakhir krn terlalu lama menangis sampai-sampai serak batuk-batuk berdahak (sepertinya jg sdg batuk). Kasian sekali. Hingga sesaat sebelum sampai, si bayi pun muntah krn batuk dahaknya.
Meski sy tdk pernah berada pd kondisi persis seperti ibu ini, tp saya sangat tau rasanya di judge sbg ibu, apalagi saya ibu pekerja. Saya hari ini kembali diingatkan utk belajar agar tdk mudah menjudge dan memojokkan seseorang diruang publik. Kita tdk tau latar belakangnya, meskipun kita tau, kita tdk sepantasnya melakukan hal semacam itu. Tdkkah lbh baik jika support bs kita alamatkan dgn cara yg baik. Tentu ibu tsb butuh masukan/nasihat yg baik, tp sampaikanlah diwaktu yg tepat, tdk disaat panik seperti itu. Saya sangat yakin ibu td pasti mencatat utk tdk lupa setidaknya membawa air putih dlm dot dlm perjalanan selanjutnya. Apapun pelajarannya, saya yakin ibu tsb pasti akn mengingatnya.
Memang salah satu tantangannya menjadi ibu itu ya begini, harus tebal kuping thd judgement dr luar, tp bukan brarti tdk dipikirkan dan diambil pelajaran baik dr setiap komentar positif pun negatif ya. Dan rasanya, bahkan hingga kelak sampai akhir kehidupan, belajar mjd ibu, dan mjd peran lainnya dlm hidup, tdk akan pernah berakhir. Krn memang tugas kita di dunia ini ya utk Iqro. Membaca. Belajar.
Ah, sedikit pengalaman saya diatas semoga bs diambil manfaatnya ya.
Jkt-Bogor, 260319, 18.00